sertifikasi

Jumat, 10 Juli 2009 ·


SERTIFIKASI DAN DASI

Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mewajibkan setiap orang yang terlibat dalam usaha jasa konstruksi memiliki sertifikat baik itu sertifikat keahlian maupun sertifikat keterampilan. Untuk orang-orang dengan keterampilan tertentu, misalnya tukang las professional memang wajar harus punya sertifikat keterampilan yang menunjukkan bahwa dia memang terampil dalam bidang las.

Yang masih mengganjal dalam pikiran saya, mengapa seorang sarjana teknik diwajibkan punya sertifikat keahlian? Misalnya untuk seorang perencana, menurut undang-undang dia harus punya sertifikat ahli dalam bidang perencanaan. Padahal seorang sarjana teknik memang dicetak untuk bisa sebagai perencana. Menurut saya, pengertian sarjana adalah orang yang ahli dibidangnya. Lulusan D3 diberi gelar Amd (ahli madya), jadi wajar S1 berhak disebut ahli. Untuk apa mendapat ijazah S1 kalau kemudian harus mencari sertifikat keahlian di luar kampus?


Untuk mendapatkan sertifikat keahlian/keterampilan bukan tanpa biaya. Perlu biaya jutaan untuk mendapatkannya. Saya pernah disodori tabel biaya untuk mendapatkan sertifikat keahlian dari sebuah asosiasi ahli teknik. Untuk mendapat sertifikat Ahli Utama harus rela merogoh kocek 12 juta lebih. Umur sertifikat (masa laku) hanya 3 tahun, setelah itu kita perlu registrasi ulang dan sudah tentu kena biaya lagi. Yang kemudian membuat jengkel adalah setelah mendapat sertifikat ahli, tidak ada perusahaan yang mau membayar salary lebih dari standar.

Tujuan sertifikasi adalah menciptakan orang-orang mumpuni dibidangnya. Kalau sekarang banyak sarjana teknik sipil yang kemampuannya diragukan, sebenarnya bukan sertifikasi jalan keluarnya. Menurut saya, yang harus diperketat adalah keluarnya ijazah sarjana dari kampus. Begitu mudahnya sekarang orang lulus sarjana teknik, dengan indeks prestasi diatas 3. Memang tidak semua perguruan tinggi longgar dalam kelulusan, tapi sebagian besar longgar dan gampangan. Tidak seperti jaman saya dulu, mencari indeks prestasi 2.5 saja bukan main sulitnya (bahkan sampai rontok rambut saya karena harus belajar dan belajar untuk IP 3). Ada beberapa teman yang harus drop out karena tidak mampu mengikuti perkuliahan. Sekarang ? PT saling berlomba mencetak sarjana, bahkan membuka program ekstensi segala. Ribuan sarjana teknik sipil lulus tiap tahunnya di Indonesia. Akibatnya, over supply tenaga teknik sipil yang ujung-ujung berimbas pada rendahnya salary. Sudah salary rendah, diwajibkan lagi keluar biaya untuk sertifikasi. Pusinglah para sarjana……….

Tidak berdasi
Tahun 2004 yang lalu saya iseng-iseng ikut sertifikasi untuk bidang supervisi jalan dan jembatan. Kebetulan waktu itu ada teman yang mau menanggung biayanya. Walaupun tidak setuju adanya sertifikasi bagi sarjana, saya paksa-paksakan ikut dengan harapan ada ilmu tambahan yang didapat. Ternyata? Memang tidak ada apa-apanya. Yang diajari sebagian besar spesifikasi yang memang sudah menjadi santapan sehari-hari pada waktu bekerja diproyek.

Suasana sertifikasi kadang gaduh pada saat sesi ujian/tes. Bayangkan, sekumpulan orang-orang yang bergelar sarjana teknik ribut saling contek. Sangat memalukan melihatnya. Ada soal ujian berupa hitungan yang gampang, hanya mencari berapa waktu pelaksanaan yang dibutuhkan sebuah proyek. Data yang diberikan : jumlah alat, kecepatan alat dan jarak tempuh. Ternyata banyak sarjana yang tidak bisa menjawab, merekapun akhirnya saling contek. Dilain waktu ada pengajar yang memberikan soal yang akan keluar pada sesi ujian besoknya, bahkan dengan gambaran jawaban segala. Alasannya mungkin karena peserta sudah membayar tinggi, sehingga kasihan kalau sampai tidak lulus……

Saya termasuk yang paling santai mengikuti sertifikasi. Kalau tidak bisa menjawab soal saya biarkan saja kosong, karena malu kok sarjana nyontek. Saya adalah satu-satunya peserta yang memakai celana jean dan tidak memakai dasi, sementara peserta yang lain pada rapi dengan kemeja lengan panjang dan berdasi bak direktur (saya melihatnya bukan seperti direktur, tapi seperti salesman). Pengajar-pengajar tidak ada yang memasalahkan kenapa saya seorang diri tidak berdasi. Hanya ada satu pengajar dari pusat (baca : Jakarta) yang menanyakan dengan ketus kenapa saya tidak berdasi. Saya jelaskan untuk apa berdasi, toh di lapangan nantinya tidak perlu berdasi pada saat mengawasi pekerjaan. Saya dianggap membandel, hanya karena tidak berdasi. Akibatnya ? Pada saat penutupan sertifikasi, saya tidak dipanggil ke depan untuk mendapatkan predikat terbaik. Padahal setelah saya bandingkan nilai saya dengan peserta lain, ternyata nilai dalam sertifikat saya paling tinggi. Nilai saya tinggi bukan karena saya pintar, tapi karena semua soal ujian sudah pernah saya kerjakan diproyek-proyek sebelumnya. Gara-gara dasi rupanya….

2 komentar:

Mas Teddy mengatakan...
9 September 2009 pukul 21.59  

Good job, Man. Aku jg pernah dibiayai ikut sertifikasi General Superintendant (GS) th 96 di Jayapura. Saya termasuk peserta yg ogah-2 an, tidur (bkn ketiduran) di saat 'pemberkatan', jwb soal ujian jg gak lengkap. Cuma bedanya, akhirnya -entah dr mana asalnya- aku didaulat jd lulusan terbaik (grade I - ini yg mengundang protes dr tmn-2 satu kantor & seangkatan) & akhirnya dipaksa nyumbang lagu pd mlm penutupan. Sampe skrg aku msh gak percaya kok bisa jd lulusan terbaik. Krn gak PD dng sertifikat ini, sampe skrg aku gak pernah cerita dan ngaku-2 kalo punya sertifikat GS grade I, cukup jd pengisi binder file aja. He ... he ...:D

frombaliwithpoetry mengatakan...
7 November 2009 pukul 21.55  

bli nyoman, bisa minta info untuk sertifikasi itu ga?
mau ikutan juga nih...tlg info di artenu200@yahoo.com ya, thanks b4